Jumat, 13 April 2018

Hanya Titipan Illahi

Tiba-tiba hati saya perih. Inikah yang namanya iri? Jujur,  saya iri ketika tahu teman-teman saya sukses selepas lulus kuliah. Hati sayapun pilu ketika melihat mereka bisa menyenangkan dan mengenyangkan diri dari hasil jerih payahnya sendiri. Lantas saya? Saya hanya berdiam diri menunggu kedatangan suami di rumah. Menanti diberi uang belanja karena saya pengangguran. Saya tidak bekerja. Dan setiap hari saya mengerjakan pekerjaan yang sama yaitu nyapu nyupir ngepel masak. Tidak ada yang berbeda. Tak ada inovasi. Monoton. Kaku. Bosan. Dan saya jenuh dengan rutinitas seperti ini.

Ketika masih SD,saya bercita-cita ingin menjadi dokter. Cita-cita yang memang sangat familiar di kalangan anak kecil sebab dokter dianggap sebagai cita-cita yang WOW banget. Masuk SMP, cita-cita saya berubah, ingin jadi arsitektur handal. Kenapa? Karena zaman SMP lagi ngetrend film AADC,filmnya Nicholas Saputra dan Dian Sastro. Kalau cewek-cewek lain pada ngebet pengen kuliah jurusan sastra kayak Dian Sastro, saya malah ngebet pengen kuliah jurusan arsitektur kayak Nicholas. Keren aja rasanya cewek jago arsitektur,Ehm. 



Lulus SMP masuk SMA. Cita-cita berubah lagi. Kali ini saya pengen jadi perawat. Alasannya karena saya suka bidang kesehatan dan berpikir menjadi perawat itu suatu pekerjaan yang mulia. Saya membayangkan berapa banyak pahala yang diterima oleh mereka yang bekerja sebagai perawat. Sungguh luar biasa. Maka dengan keyakinan hati,ketika lulus SMA dan mengikuti ujian seleksi perguruan tinggi negeri, saya berharap sekali bisa lulus dan kuliah jurusan keperawatan di UI.

Nyatanya,saya malah kuliah jurusan kimia. Saya berpikir, ah beda dikit kok. Anak kimia kan masih bisa kerja di rumah sakit bagian laboratorium atau apa saja yang penting masih di bidang kesehatan. Ya, namanya juga cita-cita, semua orang berhak bercita-cita sesuka hati.

Takdir. Lulus kuliah saya dilamar seorang laki-laki. Laki-laki yang menurut saya tampan hanya saja ia belum terlalu mapan. Tapi ia terlihat baik dan sholeh,dan yang membuat saya jatuh hati kepadanya ia terbilang laki-laki yang cerdas. Rasanya tidak ada alasan untuk menolaknya,apalagi hati makin mantab setelah istiqarah.

Empat hari setelah akad terucap,saya terbang bersamanya ke pulau seberang. Menemaninya bertugas sebagai abdi negara di kota yang dahulunya penuh konflik. Ngeri,takut,sepi tapi senang itulah perasaan saya ketika awal menginjakan kaki di kota itu. Maklum,dari lahir hingga dewasa saya hidup di ibu kota. Sayapun belum pernah sekalipun naik pesawat keluar pulau jawa. Sehari dua hari saya merasa enjoy disana. Anggap saja seperti bulan madu, bathin saya. Hari demi hari kami lewati layaknya pengantin baru yang semua pokoknya dunia hanya milik kita berdua,tsaaah.

Suatu hari. Suami sedang kerja otomatis saya di rumah sendirian. Iseng-iseng saya buka facebook sambil melepas lelah sehabis masak. Saya membaca satu persatu status teman-teman saya. Isinya hampir sama semua,tentang kesibukan mereka di bidangnya masing-masing. Si A sedang koas,sebentar lagi jadi dokter. Si B keterima di kementrian anu. Si C keterima di BANK itu. Si D keterima di BUMN terkenal dan masih banyak lagi. Saya...? Sejenak berpikir.. Padahal beberapa dari mereka,waktu sekolah peringkatnya di bawah saya. Beberapa dari mereka,IPnya tidak lebih tinggi dari saya. Beberapa dari mereka,berasal dari universitas tak seternama universitas tempat saya menimba ilmu.

Iri dan sombong, itulah yang saya rasakan 7 tahun lalu. Iri karena mereka bisa lebih dari saya dari segi pemasukan. Sombong karena saya merasa diri saya lebih hebat dari mereka ketika sekolah dahulu. Saya hanya manusia biasa yang terkadang hati sakit melihat orang bahagia, lalu bahagia melihat orang sedih. Astaghfirullah. Kerdil sekali pikiran saya. Bahkan perang bathin seperti sudah menjadi hal yang biasa bagi saya. 

Hari berganti bulan,  bulan berganti tahun. Manusia bisa berubah. Menerima kenyataan hidup bahwa apa yang menjadi pilihannya adalah campur tangan Allah. Apapun pilihannya, pasti ada konsekuensi yang musti diterima. Siap tidak siap harus dijalani. Sekarang, sudah tidak ada lagi iri dan sombong di hati saya. Apalah gunanya iri, pun apalah yang disombongkan dari diri yang semuanya hanya titipan Illahi. 





7 komentar:

  1. hikkss,,, sedih baca tulisannya. Jadi melihat diri. Jangan2 selama ini juga sombong dg apa yg dipunya dan iri dengan kebahagiaan orang lain.
    Terima kasih sharingnya mb Yulita.
    Semua hanya titipan ilahi,, sepakat 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama2 mas...
      Sayapun menulisnya dengan napas yang tertahan

      Hapus
    2. hihiii,, q dipanggil mas 😂😂

      Hapus
  2. Saya kira setiap orang pernah memgalami perasaan itu. Pertanyaan saya: mbak Yulita yg mana di foto itu? 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi..
      Saya no 2 dari atas mbak Desi 🙈

      Hapus
  3. Saya pun pernah mengalaminya mbak. Kalau gak inget sama Yang Di Atas mungkin saya termasuk orang yang kufur 😭

    BalasHapus

Terimakasih atas kunjungannya ya..
Silahkan tinggalkan komentar sesuka hati asal sopan dan tunggu kunjungan balik saya ke blog teman-teman^^