BAB 1
Keyakinan Hati
Ketika pertama kali aku menginjakan kaki di kota ini,kota Lhokseumawe,Nangroe Aceh Darussalam,belum terbayang bagaimana situasi di kota ini.
Aku kesini dalam usia 22 tahun 2 bulan 17 hari,bersama suamiku tercinta yang saat itu berusia 22 tahun 11 bulan 9 hari. Ya,masih muda-muda memang atau bisa dikatakan terlalu belia untuk seumuran kami sudah merantau di negeri orang. Bukan… bukan karena kemauan kami,tapi kewajiban lah yang mengharuskan kami berpisah dengan orang-orang yang kami sayangi. Yang mengharuskan kami berpisah dengan kota kelahiran kami,yang kata orang kota itu adalah Ibu Kota Negara Indonesia. Kota yang serba ada,kota yang modern,kota metropolitan.
Empat hari setelah hari pernikahan kami,25 September 2010,aku harus rela meninggalkan kota itu dengan penuh keyakinan. Hatiku mantap untuk mendampingi suami melaksanakan tugas Negara. Tak ada keraguan sedikitpun saat itu. Yang ada hanyalah rasa cinta yang terlalu dalam pada suami karena hati tak ingin jauh sejengkalpun darinya.
Suamiku sempat bertanya padaku saat kami belum menikah. Apakah setelah menikah aku bersedia dibawa ke kota ini atau kami harus rela hidup berjauhan jika aku tidak bersedia menemaninya. Istri mana yang tega membiarkan kekasih hati yang baru saja menikahinya hidup berjuang seorang diri di negeri orang. Tidak,tidak akan ku biarkan ia seorang diri.
Lagi-lagi hatiku yakin dan tak ada keraguan sedikitpun dengan keputusanku untuk tinggal di kota ini,sekali lagi… kota Lhokseumawe namanya.
Orang tua kami dengan penuh ridho,melepas kepergian kami. Hanya doa mereka yang saat itu kami harapkan.
Tak ada bekal apapun ketika melangkahkan kaki keluar dari kota itu. Hanya sedikit pakaian dan uang yang tersisa sebagian karena telah dipakai untuk biaya menikah. Dari awal kesepakatan kami untuk menikah,kami tidak mau merepotkan orang tua baik dari pihakku maupun dari pihak suami. Apalagi ayah dari suamiku telah berpulang ke sisi Sang Pencipta satu pekan setelah keluarganya bertandang kerumahku untuk mengkhitbah diriku. Nyaris jatuh raga ini saat kabar duka itu ku terima. Tak menyangka dan tak ada firasat apapun ketika beliau hadir untuk menitipkan putra pertamanya padaku. Secepat itukah beliau pergi? Tapi aku yakin inilah yang terbaik untuknya dan untuk kami. Ada rencana lain yang lebih indah akan menanti kami,pikirku saat itu.
Kami menikah dengan biaya sendiri,walaupun terlihat sederhana tak apa. Hanya BerkahNYA yang kami harapkan. Namun diluar dugaan kami,ternyata acara walimah/pesta pernikahan kami cukup mengesankan. Teman-teman yang hadir saat itu memberikan kebahagiaan tersendiri. Hanya ucapan terimakasih yang dapat kami sampaikan kepada teman-teman saat itu. Doa-doa terlantun mengharu biru dari para tamu menambah keindahan di hari yang sangat spesial itu.
Jadilah tanggal 25 September 2010 adalah hari yang bersejarah untuk kami. Hari yang mengubah seluruh keegoisan diriku menjadi seorang wanita yang harus penuh pengertian. Menjadikan suamiku seorang imam,seorang kepala keluarga dari dua keluarga. Ya,dua keluarga. Keluarga kecil kami yang baru kami rintis dan keluarganya sebelum ia menikahiku yakni ibu dan adik perempuannya.
To be continue…....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungannya ya..
Silahkan tinggalkan komentar sesuka hati asal sopan dan tunggu kunjungan balik saya ke blog teman-teman^^